Saya mendapat email ini di milis WRM, dari mbak Dinar Ardanti
(halo, mom Dinar). Email ini berkisah tentang keluarga Istriyanto yang
kehilangan anaknya saat berusia 7 bulan. Sedih dan trenyuh sungguh,
tapi tidak mengurangi niat saya dari mengangkat beberapa masalah yang
harus di'kunyah' dengan lebih cermat. Menilai keberhasilan vaksin Ada kisah menarik dari bu Santi Soekanto, tentang Despurrate Housewives. Sila baca sendiri. Apa hubungannya dengan imunisasi? Ada di akhir cerita tersebut: "Today, I didn't do it". Keberhasilan
imunisasi tidak nampak begitu jelas di mata awam, terutama non-petugas
medis, apalagi petugas medis yang telah menjalani masa ketika tempatnya
mengabdi mendapat 'limpahan' korban penyakit infeksi yang kini telah
dapat dicegah oleh hadirnya vaksin. Imunisasi tidak
menyembuhkan, tidak pula menjamin 100% bahwa kita tidak akan terpapar
oleh bakteri atau virus yang terkandung dalam vaksin. Seperti namanya,
imunisasi bertujuan untuk membangun kekebalan tubuh atas infeksi
penyakit tertentu. Caranya dengan mengenalkan bakteri atau virus yang
telah dilemahkan, dalam dosis tertentu, agar tubuh memproduksi antibodi
dalam jumlah yang memadai untuk melawan apabila di kemudian hari
bakteri atau virus sejenis datang 'bertamu'. Jaminan keberhasilan Tidak
ada jaminan 100%, tentu saja. Mana ada? Ini untuk vaksin apapun, dan
kita berurusan dengan mahluk hidup, dengan segala keberagamannya,
bagaimana bisa menjamin hasilnya 100%? Apakah dengan memakai
helm kita tidak akan terluka? Tidak, tapi helm akan membantu melindungi
dan memperkecil risiko trauma pada kepala. Apakah 'keberhasilan'
pemakaian helm terlihat jelas? Saya berani bilang tidak. Kenapa? Karena
mereka selamat. Yang menjadi 'berita', yang laris diangkat sebagai
topik di media cetak (dan elektronik), yang jadi 'subject' email yang
'bagus' untuk diteruskan ke teman-teman, umumnya berupa berita yang
cenderung negatif. Lalu bagaimana vaksin dinyatakan aman?
Seperti obat dinyatakan aman. Kuncinya ada pada statistik. Kita bisa
berkata itu hanya hasil permainan statistik oleh para produsen vaksin
dan obat. Nyatanya kita memang bermain statistik setiap hari. Kalau
dimanfaatkan dengan baik, statistik dapat menyelamatkan jiwa. Dan jika
statistik hanya dijadikan alat untuk mendapat uang, uang dapat
diperoleh. Uang dan kekayaan orang lain Satu dari
sekian alasan gerakan anti-imunisasi adalah mengalirnya uang ke para
produsen vaksin. Apa ada yang salah? Tampaknya menurut mereka, kita
memasukkan uang ke kantong produsen vaksin dan menjadikan mereka kaya
adalah salah. Kenapa membuat orang menjadi kaya itu salah?
Apalagi jika kita tidak rugi. Ah, saya ralat. Sebagian besar orang
(yang menerima vaksin) tidak rugi, kecuali sebagian kecil yang 'rugi'
karena tubuhnya memberi reaksi negatif terhadap vaksin. Jika
kita menolak mengeluarkan biaya hanya dengan alasan 'hanya memperkaya
orang lain' atau 'bikin kaya juragan yang udah kaya', kecil kemungkinan
kita bisa berbuat apapun. Kecuali mungkin, hidup di peternakan,
perkebunan, atau lahan pertanian milik sendiri. Tidak perlu apa-apa
dari orang lain. Masa iya? Anda dapat membaca email lengkapnya di sini (format pdf) atau di sini (format rtf). Mohon JANGAN teruskan ke mana-mana TANPA anda sertakan uraian yang ada di artikel ini. Berikut ini adalah bagian yang -bagi saya- lebih penting untuk dibahas. Vaksin Hepatitis menyebabkan Hepatitis: Hepatitis yang mana? 1. Banyak kasus penyakit bayi/balita yang timbul setelah mereka disuntik imunisasi. -
Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya
sampai dengan usia 2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis
namun, setelah ada dokter (spesialis anak) yang tahu, lalu disarankan
diimunisasi Hepatitis, kemudian tidak lama setelah itu akhirnya anak
saudaranya positif terkena Hepatitis akut, dan harus bolak-balik
berobat ke dokter. Indonesia adalah daerah endemik
Hepatitis B. Rasanya ini sudah cukup untuk dijadikan alasan mengapa
bayi baru lahir direkomendasikan untuk mendapat vaksin hepatitis B.
Terutama pula karena para carrier virus Hepatitis B biasanya tidak
sadar mereka telah terinfeksi, akibatnya dapat dengan mudah
menularkannya kepada bayi. Tentang terjangkit hepatitis setelah
diimunisasi, tergantung jenis hepatitisnya. Hepatitis A menular lewat
oral-fecal. Bisa saja anak diberi imunisasi hepatitis B, tapi tertular
hepatitis A dari makanan yang terkontaminasi. Atau sebaliknya,
diimunisasi hepatitis A tapi tertular hepatitis B dari kontak cairan
tubuh dengan carrier (misalnya lewat luka terbuka). Atau diimunisasi
hepatitis A tapi sebenarnya ibu adalah carrier virus hepatitis B dan
menurunkannya ke anak, yang tidak terlindungi karena tidak diberi
vaksin hepatitis B segera setelah lahir. Imunisasi dan fisik anak
- Tetangga saya, sehabis Imunisasi campak, dua hari kemudian malah
terkena campak. Tetangga kami yang lain, anak pertamanya rutin
diimunisasi, namun fhisiknya malah lemah sering sakit-sakitan,
Fisik lemah belum tentu karena imunisasi. Faktor lain juga perlu
dipertimbangkan. Bagaimana dengan pemberian ASI atau susu formula? Atau
pola makan? Atau ada kelainan bawaan? Selain itu, anak yang sedang
bertumbuh (6 bulan ke atas), wajar saja jika bolak-balik sakit ringan.
Selesma, flu, diare, sistem kekebalan tubuhnya sedang belajar. Seiring
usianya bertambah, ia akan semakin jarang sakit.
sedangkan
anak keduanya sama sekali tidak pernah imunisasi namun malah sehat,
hampir tidak pernah sakit (kalaupun sakit cepat sembuh/ringan) Anak
yang diimunisasi tidak dijamin selalu sehat. Anak yang tidak
diimunisasi juga tidak dijamin selalu sehat atau selalu sakit.
Bagaimana perbandingan kondisi kedua anak? Jangan hanya dilihat
diimunisasi atau tidaknya. Bahkan bayi yang diberi ASI eksklusif
-yang notabene mendapat asupan antibodi dari ibu setiap menyusu- juga
tidak dijamin selalu sehat. Pernyataan 'yang diimunisasi sering sakit
dan yang tidak diimunisasi sehat' ini tidak memberikan keterangan
'sebab' yang kuat. Anak tidak menjadi sehat jika tidak diimunisasi. Teman
sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10 bulan
sudah lincah berjalan, dan juga boleh dibilang tidak pernah sakit
(kalaupun sakit hanya ringan saja). dan banyak lagi kasus-kasus serupa
yang tidak mungkin saya tulis satu persatu. I condole with you.
Akan jauh lebih banyak lagi deret nama yang dapat ditulis, yang
terselamatkan oleh vaksin. Tanpa maksud untuk 'menghilangkan' mereka
yang 'menderita' akibat vaksin. Usia anak dapat berjalan
bervariasi. Apakah jika saya katakan anak yang tidak diimunisasi baru
bisa berjalan di usia 1,5 tahun, lalu menjadi dasar bagi pernyataan
'anak menjadi lambat berjalan karena tidak diimunisasi'? Tidak ada
hubungannya antara imunisasi dengan berjalan. Berjalan kaitannya dengan
kesiapan mental dan motorik anak. (Jangan) hindari imunisasi!
2. Menurut saya, Jika bisa Hindari Imunisasi, kalaupun perlu/terpaksa
pilihlah imunisasi yang pokok saja (bukan imunisasi lanjutan/yang
aneh-aneh) alasannya: IMHO, tidak ada imunisasi
yang aneh-aneh. Sedangkan imunisasi lanjutan bukanlah imunisasi di luar
imunisasi wajib (yang ditetapkan oleh IDAI),
tapi imunisasi yang diberikan sebagai tambahan (booster), di luar dosis
'wajib' atas alasan tertentu. Misalnya PIN polio, ketika anak yang
sudah diimunisasi polio juga dianjurkan ikut. - Kita
"Mendzolimi", anak kita sendiri yang memang sedang masa pertumbuhan dan
pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan penyakit (walaupun
sudah dilemahkan) ke tubuhnya. Betul, itu sudah
dijawab sendiri. Bibit penyakit yang sudah dilemahkan ini dimasukkan ke
tubuh dalam dosis yang sedemikian rupa sehingga cukup untuk merangsang
sistem kekebalan tubuh agar membangun pasukan yang memadai. Bukan
supaya sakit. Justru karena kekebalan tubuhnya masih lemah, ia
perlu 'diajari, siapa yang harus dikenali sebagai musuh dan bagaimana
melawannya. Tidakkah lebih zhalim jika kita tahu bagaimana
pencegahannya tapi kita memilih diam karena ketakutan (ketimbang ada
dasar pemikiran lain, misalnya anak punya alergi terhadap putih telur
atau tidak dapat menerima vaksin hidup)? - Kita
tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau
tidak, karena terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum
bisa bicara mengenai kondisi badannya, sedangkan imunisasi harus
dilakukan pada bayi/balita yang sehat (tidak sedang lemah
fisiknya/sakit). Koreksi sedikit. Anak yang sedang
selesma atau flu tidak menjadi hambatan untuk diimunisasi. Selain itu,
kita bisa kok menilai kondisi kesehatan anak. Jika tidak ada tanda
fisik bahwa ia sedang sakit, jika ia tidak memiliki kelainan bawaan
sejak lahir, jika insting ibu (biasanya nurani ibu lebih peka terhadap
kondisi anaknya) tidak merasakan sesuatu yang aneh, jika perilaku anak
tetap aktif dan riang, maka tidak ada masalah. Biaya dan jaminan: tidak ada, mana ada? Sesudah
kita memasukan penyakit ke tubuh anak kita, biasanya kita juga harus
mengeluarkan banyak biaya. (Jasa dokter/RS, harga imunisasi, dsb).
Tidak ada jaminan (Dokter/RS/puskesmas) apabila setelah imunisasi anak
kita bebas dari penyakit yang telah dimasukan ketubuhnya. Memang
tidak ada jaminan. Sudah saya jelaskan di awal tadi. Tampaknya para
orangtua memang harus lebih aktif mencari informasi tentang vaksin,
apa, bagaimana, dan sampai seberapa tinggi orangtua dapat berharap dari
vaksin. Tentu saja kita mengeluarkan biaya untuk layanan
kesehatan. Sama saja seperti kita berbelanja. Dan tempat kita
berbelanja juga umumnya tidak menjamin produk yang dijual. Konsumen
yang dituntut untuk teliti terhadap barang yang dibeli. Mengapa kita
tidak memberlakukan hal yang sama dengan produk kesehatan? Contoh
nyata yang terjadi pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali
imunisasi HIB ketika berusia +/- 5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya
dokter bilang imunisasi HIB untuk menghindari penyakit Radang Otak,
namun nyatanya anak saya malah meninggal akibat penyakit Radang Otak. Again, I condole.
Dan anak saya baik-baik saja setelah diimunisasi HiB secara simultan
dengan DPT dan polio. Ini dapat menjadi pertimbangan bahwa tidak semua
anak sama. Jika tidak semua anak dianggap memerlukan vaksin, maka tidak
semua anak pula boleh dianggap tidak memerlukan vaksin. Apakah kuman yang menyebabkan radang otak sama dengan yang terkandung dalam vaksin? Jika tidak, tentu dapat dimengerti. Gerakan anti-imunisasi: global! Menurut
seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis, justru
Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha
dihilangkan dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi
telah di STOP samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan
pelopor "industri", imunisasi. Tanpa mengurangi
rasa hormat, berita tersebut tidak benar, jika rekannya tidak
berbohong. Literatur mana? Terbitan mana? Imunisasi tidak populer di
AS? Tragis sekali. Anda bisa telusuri sendiri di internet dan situs
resmi pemerintah AS, jadwal imunisasi tetap dikeluarkan setiap tahun.
Bahkan anak-anak yang tidak melengkapi jadwal imunisasinya tidak
diperbolehkan mendaftar di banyak sekolah (yang kemudian juga memancing
reaksi dari para orangtua). Atau, mungkin berita itu benar dan
rekannya tidak berbohong, tapi yang dikutip sebagai sumber/literatur
berasal dari 'golongan' anti-imunisasi. Tentu saja anda dapat
mengharapkan segala informasi negatif tentang imunisasi ada di sana.
Dan jika berawal dengan prasangka negatif, bukti nyata di depan mata
pun sanggup (mereka) (di)jadikan mentah. Vaksin flu bahkan
dikembangkan di sana dan ada program vaksinasi flu setiap tahunnya.
Israel adalah pelopor industri vaksin? Sejak kapan? Bagaimana ini bisa
menjadi bukti bahwa imunisasi dihilangkan? Menurut
pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi semua
sama, jadi imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan
Ras/warna kulit, padahal kalau Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah
kadarnya disesuaikan dengan berat/fisik orang Luar (Barat) yang jelas
lebih basar dan kuat fisiknya dibanding orang Asia, namun kita malah
sama-sama menggunakan dengan takaran yang sama. (akibatnya overdosis). Maaf,
vaksin wajib di Indonesia sudah diproduksi di dalam negeri, tidak lagi
impor. Apakah sudah dibandingkan antara vaksin impor dan vaksin lokal?
Berbedakah jumlahnya? Yang penting diperhatikan sebelum
memberikan vaksin tertentu adalah titer antibodi, bukan berat badan.
Dan titer antibodi ini tidak berhubungan dengan berat badan, karena
dinyatakan dalam konsentrasi. Saya menanyakan langsung kepada penyelenggara program imunisasi (NIP, National Immunization Program) di CDC (Centers for Disease Control and Prevention) mengenai vaksin HiB ini, dan berikut adalah salinan jawabannya: In general terms, a vaccine dose is based on AGE and the development of the immune system - NOT height and weight. The doses are either pediatric or adult. Also, there are several different organisms that can cause meningitis (saya agak kesulitan dengan radang otak yang dimaksud dalam email tersebut, karena tidak ada keterangan apakah meningitis [radang selaput otak] atau ensefalitis [radang otak]). There are bacterial and VIRAL organisms that can cause meningitis. HiB is NOT THE ONLY ORGANISM that causes meningitis. I
would also remind you that NO MEDICATION, including HiB vaccine is 100%
effective. And one last point - HiB vaccine is made with INACTIVATED (dead) bacteria, which can induce an immune response, but CANNOT cause disease. Donna L. Weaver, RN, MN Nurse Educator National Immunization Program Penekanan pada beberapa kata berasal dari saya. Nah, terbantah sudah dugaan bahwa radang otak tersebut diakibatkan oleh bakteri yang terkandung dalam vaksin HiB. 3.
Jika tidak "urgent" sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak
prosedur/step-step pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh
pasiennya. (Contoh: keharusan berpuasa, pemasangan infus, pengambilan
darah yang terus menerus, foto Rontgen, operasi, kemoteraphy, dsb).
Jikalau perlu coba dulu dengan cara pengobatan alternatif/tradisional. Tentu
saja. Langkah itu memang seharusnya tidak ditempuh jika tidak penting
DAN mendesak. Juga pilihan untuk pengobatan alternatif/tradisional.
Apakah dilakukan juga jika tidak urgent? Jika
pengobatan alternatif lebih dipilih, apakah reaksinya akan tetap sama
jika hasilnya negatif? Atau mirip reaksi terhadap ramalan? Kalau
berhasil, "Tuh, kan, manjur". Kalau tidak berhasil, "Ya namanya juga
alternatif. Namanya juga usaha, boleh dong". Tidak 'adil', ya. Berpuasa
memang biasanya dilakukan sebelum operasi. Kalau lambung terisi, bisa
ada kemungkinan buang air (besar/kecil) ketika operasi sedang
berlangsung. Berhubung operasi harus dilakukan dalam keadaan aseptik,
maka keluarnya kotoran dapat memperbesar kontaminasi kuman patogen ke
luka operasi yang sedang terbuka. Ini bahaya. Pengambilan darah
secara periodik hanya dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk
mengetahui kondisi pasien. Biasanya ini untuk mengawasi keadaan yang
cepat berubah, dan bisa diamati segera dengan menganalisa darah.
Misalnya trombosit, leukosit, dan sebagainya. 4.
Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan
dilakukan RS, jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh
terhadap kesembuhan pasien. Bagus. Memang harus
begitu. Jangan hanya berserah dan melimpahkan tanggungjawab kepada
dokter. Dengan demikian orangtua juga harus aktif memperkaya ilmu
sehingga dapat berdiskusi secara sejajar dengan dokter, tidak hanya
'menerima sabda'. Sayangnya, orangtua seringkali juga terima
saja jika diresepkan vitamin macam-macam dengan alasan untuk
kesehatan/memperkuat kekebalan tubuh, padahal manfaatnya juga tidak
benar-benar jelas. Berat sebelah? 5. Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih baik. Betul sekali. 6.
Banyak tanya, biarlah kita dibilang "bawel", tanyalah setiap tindakan
medis yang akan dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya,
ada tidak cara-cara lain/alternatif lain yang lebih baik/tidak terlalu
menyakiti pasien. Setuju. Dan jika memang 'menyakiti' adalah cara terbaik yang dapat menguntungkan, bersiaplah untuk memilihnya.
7.
Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena
setiap saat bisa ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan
cermati semua pekerjaan perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan
sungkan melaporkan ke tenaga medis yang ada segera. 8. Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh "Yang Maha Kuasa", manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha. None other than agree. Saya salut pada keluarga ini yang sanggup berlapang dada dan mengajak pada kepasrahan. Saya
betul-betul berharap dapat membantu mencerahkan, alih-alih bikin
suasana tambah runyam. Karena itu saya khusus minta bantuan ekstra dari
cak Moki (yang dokter tulen). Saya salinkan sebagian tanggapan beliau: "tapi kalau ternyata kejadian betulan kan ya kejam betul saya langsung menuding itu bohong" *Ini kata-kata dari email saya Ya, saya sependapat. Jika email tersebut kita anggap benar, saya masih sedikit penasaran. Orang
tua yang baru kehilangan anak tercinta, sangatlah manusiawi
mengungkapkan kedukaannya. Mengapa melalui email berantai? Mengapa
diakhiri dengan sikap toleransi (pementahan) pada point 7 dan 8? Rasa penasaran saya berikutnya adalah kesinambungan waktu. Mungkin salah tulis atau saya salah memahami. Coba
kita perhatikan, si bayi malang dilahirkan pada pertengahan bulan Juni
2005, sedangkan email (original) 29 April 2005. Pada usia 7 bulan masuk
RS (17 Maret 2005). Meninggal 12 April 2005. Emailnya apa adanya kan? Iya,
cak, kata mbak Dinar -juga yang saya lakukan- itu tidak diedit, bahkan
header-header yang timbul akibat tindakan 'forward' juga dibiarkan apa
adanya. saya malah ndak memperhatikan tanggal itu hehehe… Sekian, berikutnya pribadi (ehm). Sisanya cak Moki mengaku: Akhirnya, monggo diposting. Lebih adil jika yang menulis Bu Lita, lebih merepresentasikan seorang ibu, mewakili kaum terpelajar. Sejujurnya, saya tidak mampu menulis sebagus itu. Sungguh, bukan basa-basi. Dan saya bangga seandainya banyak yang seperti itu. Waks.
Malu saya. Sungguh hanya ingin berbagi, kok. Saya prihatin jika banyak
orangtua mengambil keputusan dengan tergesa-gesa hanya karena takut.
Sesal kemudian betul-betul tidak berguna. Apalagi jika sudah menyangkut
anak. Semesta di dunia. Terimakasih buanget ya, cak! Anda yang ingin mengetahui langsung dapat membaca 10 Things You Need Know about Immunization di sini, atau bahkan bertanya langsung ke CDC Information Contact Center via email. Artikel ini juga layak dibaca: Smallpox must have never existed! Circular logic. Big thanks, Eko
|